Langsung ke konten utama

Rindu Ini Tak Pernah Selesai

"Ayah Memang Jauh, Tapi...."

Masa kecilku bukanlah masa kecil yang biasa. Aku tidak tumbuh bersama ayah di rumah seperti anak-anak lain. Ayah bekerja di kota yang jauh, di tempat yang menurutnya tidak cukup baik untuk pendidikan anak. Aku hanya bisa berbincang dengan ayah melalui telepon atau MMS - aplikasi pesan yang dapat mengirimkan gambar, mendengarnya dari cerita ibu yang menceritakan tentang kesehariannya. Kami, ibu dan aku, tinggal di rumah kecil di sebuah daerah, yang terpisah sejauh 254km dengan tempat ayah berada, tempat yang penuh dengan kerja keras dan usaha, tetapi menurutnya tidak cocok untuk membesarkan anak.

Aku ingat betul, setiap kali ada libur sekolah atau saat aku merasa sangat rindu padanya, aku akan menunggu telepon dari ayah. Itu adalah saat-saat yang paling aku nantikan. Ayah akan bercerita tentang pekerjaannya yang menakjubkan, dan tidak pernah lupa mengingatkanku untuk belajar dengan rajin. "Ayah ingin kamu jadi orang yang sukses, yang tahu bagaimana menghargai pendidikan," begitu selalu pesan ayah.

Namun, meskipun aku tahu ayah mencintaiku, ada rasa kesepian yang sulit kuungkapkan. Aku tumbuh tanpa sosok ayah yang selalu ada di dekatku, yang bisa aku peluk setiap kali aku takut atau sedih. Ibu selalu berusaha memberi yang terbaik untukku, tapi aku tetap merasa ada yang kurang. Aku ingin merasakan kehadiran ayah, belajar darinya langsung, mendengar suaranya saat aku bertanya, atau merasa aman dengan pelukan hangatnya. Tapi semua itu hanya bisa aku rasakan lewat suara yang datang dari telepon.

Kehidupan jarak jauh ini bukanlah hal yang mudah. Aku merindukan tawa ayah, cara dia membimbingku, bahkan cara dia menegurku jika aku kurang disiplin. Kadang aku merasa aneh, seperti ada dua dunia yang kujalani. Dunia bersama ibu yang selalu dekat denganku, dan dunia jauh dengan ayah yang hanya bisa kuhubungi melalui telepon atau surat. Dunia yang berbeda, tetapi tetap saling mengisi.

Hari demi hari, minggu demi minggu, sampai tahun-tahun pun berlalu, dan aku mulai terbiasa dengan kondisi ini. Tapi, tidak ada satu pun hari yang kujalani tanpa rasa rindu pada ayah. Aku sering kali bertanya pada ibu, "Kapan ayah pulang?" Ibu hanya akan tersenyum dan mengatakan, "Sebentar lagi, ya nak. Ayah ingin memastikan semuanya baik-baik saja di sana sebelum kembali." Tapi waktu itu seakan berjalan begitu lambat. Setiap hari aku berharap agar ayah bisa segera pulang dan kami bisa menjalani kehidupan normal seperti keluarga lainnya.

"Ketika Ayah Pulang"

Ayah bukannya tidak pernah pulang ke rumah, hanya saja jarang. Aku tahu, itu bukan karena ia tidak ingin, tapi karena keadaan yang mengharuskan begitu. Setiap kali aku mendengar kabar bahwa ayah akan pulang, hatiku berdebar penuh harapan. Tidak banyak waktu yang kami punya, hanya beberapa hari, tapi setiap momen itu terasa begitu berarti. 

Setidaknya, dalam setahun, ayah pulang tiga kali—dan setiap kedatangannya adalah saat-saat yang selalu kutunggu-tunggu. Selama empat hingga tujuh hari, rumah terasa penuh kembali dengan tawa dan canda, meski itu hanya sejenak. Aku dan ibu akan menyiapkan segala hal untuk menyambutnya, seperti yang biasa dilakukan keluarga yang merindukan orang terkasih. Ketika akhirnya ayah melangkah masuk, aku selalu merasa seolah waktu berhenti sejenak. Aku akan berlari menyambutnya, memeluknya dengan erat seolah ingin mengikatkan diri pada momen itu, karena aku tahu, tidak ada yang bisa menjamin kapan lagi aku bisa merasakan hal yang sama.

Saat itu, dunia seperti kembali normal. Ayah akan duduk bersama kami di meja makan, bercerita tentang segala hal menarik yang terjadi di tempat kerjanya, meskipun aku tahu itu semua terasa jauh dari hidup kami yang sehari-hari. Ibu dan aku mendengarkan dengan penuh perhatian, menikmati setiap kata yang keluar dari mulutnya, bahkan meskipun kadang-kadang hanya cerita kecil tentang hari-hari yang ia jalani di sana. Kami tidak peduli, karena yang penting adalah kehadirannya. Namun.. sebenarnya ada hal yang ku kagumi dari sosok ayah. Setiap kali ayah pulang, ayah akan mengerjakan semua pekerjaan rumah seperti memasak, mencuci, menyetrika pakaian, mengurus kami sekolah, dan mengajari kami belajar. Waktu kecil, aku hanya mengamati itu sambil bergumam "Ayah pulang sesekali, kenapa malah beres-beres?", lalu ayah akan menjawab "Ayah ingin ibumu istirahat, setelah berbulan-bulan mengurus segala sesuatunya sendirian, sekarang ayah pulang." Ah... bukankah itu romantis? Aku terkesima mendengar jawaban ayah, tangki cintaku ini selalu terisi, karenanya.

Setiap kali ayah pulang, kami membuat kenangan baru. Ayah akan mengajak aku dan ibu berjalan-jalan, atau terkadang hanya duduk di rumah sambil menonton film/DVD/bola bersama. Kami seperti mengisi waktu yang hilang, berusaha membuat setiap detik berarti. Aku merasa seperti anak paling bahagia di dunia, dengan ayah di sisi kami, meskipun waktu itu selalu terbatas.

Namun, yang paling istimewa adalah saat Lebaran. Lebaran adalah momen yang paling aku nantikan, karena itulah saat di mana ayah pasti pulang. Terkadang, kami juga mengunjungi ayah di tempat kerjanya, terutama jika kami tidak bisa merayakan Lebaran bersama di rumah. Tapi, jika ayah pulang, seluruh keluarga akan berkumpul. Ada kebahagiaan yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata, melihat ayah duduk bersama kami, menikmati hidangan Lebaran yang sederhana, dan berbagi tawa. Momen-momen seperti itu menjadi kenangan yang tak ternilai.

Sayangnya, setelah beberapa hari, kenyataan kembali datang. Ayah harus pergi lagi. Aku merasa seperti ada yang hilang setiap kali ia berangkat. Tapi, aku selalu berusaha menguatkan diri, karena aku tahu, ayah pergi untuk masa depan kami. Meski kami hanya punya waktu yang terbatas, aku percaya bahwa setiap pertemuan itu berarti dan akan selalu menjadi kenangan yang tak terlupakan.

Kadang aku bertanya-tanya, apakah ada anak-anak lain yang merasakan hal yang sama seperti aku. Terkadang aku merasa berbeda, merasa seperti setengah keluarga, tapi aku tahu, meski jarak memisahkan kami, ikatan yang kami miliki tidak pernah pudar. Ayah selalu mengingatkan kami untuk selalu kuat dan tidak menyerah, karena meski jauh, ia selalu ada untuk kami. Kata-katanya itu selalu aku pegang erat, menjadi semangat setiap kali aku merasa rindu.

Setiap kali ayah pulang, aku merasa dunia ini kembali lengkap. Tapi, meski aku harus melepasnya pergi lagi, aku tahu, cinta dan kenangan yang ia tinggalkan akan selalu ada, menemani aku dalam setiap langkahku. Ayah memang tidak bisa selalu ada, tapi setiap kali ia pulang, rasanya dunia ini lebih cerah.

"Pesan Terakhir yang Tak Pernah Terucap"

Pada suatu sore, telepon di rumah berdering seperti biasa. Tak ada yang aneh, sampai ibu tiba-tiba terdiam begitu mendengar suara ayah di ujung sana. Wajah ibu berubah. Matanya menajam, suaranya menurun, dan aku tahu, ada sesuatu yang tidak baik.

“Ayah bilang fisiknya berubah. Ada yang nggak beres,” kata ibu, pelan, sambil menutup telepon. Sejenak rumah menjadi sangat sunyi. Seperti menanti sesuatu yang belum pasti, tapi berat. Aku masih remaja waktu itu, belum terlalu mengerti, tapi ada firasat yang langsung menyelinap—mimpi buruk seolah hendak dimulai.

Ibu memaksa ayah untuk pulang. “Segera, ya. Jangan tunda,” katanya. Dan benar saja. Setelah pemeriksaan, kami mendapat kabar yang menghentak—ayah sakit. Bukan sakit biasa. Sakit yang tidak bisa disembuhkan dengan istirahat dan makan bergizi. Sakit yang mengubah segalanya. Saat itu bulan Februari 2013.

Sejak saat itu, hidup kami berubah. Ayah mulai menjalani perawatan, kunjungan ke rumah sakit menjadi rutinitas. Hari-hari berlalu dengan kecemasan yang tumbuh pelan tapi pasti. Tubuh ayah yang dulu kukenal tegap dan kuat, perlahan berubah. Langkahnya melambat. Suaranya melemah. Wajahnya lebih pucat, lemak di badannya perlahan-lahan habis. Tapi yang paling membuatku tidak siap adalah matanya—masih sama lembutnya, tapi sering kali memancarkan kesedihan, kadang kala kosong memandang jauh, seakan menyiapkan diri untuk sesuatu yang kami tak ingin tahu.

Rumah sakit pun berpindah-pindah, seperti kami sedang mencari secercah harapan yang terus menjauh. Ibu hampir tak pernah pulang. Ia menemani ayah di rumah sakit selama lebih dari dua bulan. Waktu seakan melarut, tapi kami menunggu kabar baik yang tak kunjung datang. Hingga suatu hari, ayah dirujuk ke kota lain, ke rumah sakit besar dengan dokter ahli di bidang penyakitnya.

Kami tak ikut. Tapi kemudian, ibu menelepon. “Kalian harus datang. Ayah... makin lemah.” Itu kalimat yang terdengar biasa, tapi maknanya menghantam. Aku, tante, dan kakak adik berangkat. Dan di kota itulah, aku bertemu ayah untuk terakhir kalinya.

Kami hanya diberi waktu tiga hari.

Hari ketiga, malam yang gelap semakin membuat semuanya terasa sunyi. Terlalu sunyi, sampai suara monitor detak jantung menjadi latar yang menyayat. Ayah berpulang. Di kota yang asing, di kamar rumah sakit yang dingin, tanpa sempat mengucap pesan terakhir padaku.

Tidak ada kata perpisahan. Tidak ada kalimat pamungkas. Tidak ada pelukan terakhir. Hanya kesunyian yang menelan segalanya.

Tapi kalau kupikir ulang… mungkin, ayah sebenarnya sudah menyampaikannya. Dalam setiap teleponnya, dalam setiap pulangnya yang singkat, dalam setiap nasihatnya yang kadang terdengar seperti dongeng. Ia pernah bilang padaku: “Kamu harus seperti pohon anggur. Meski dipatahkan berkali-kali, tetap kuat. Tetap berdiri.”

Itulah pesan terakhir ayah. Bukan di hari terakhirnya. Tapi dari hidupnya.

Aku masih mengingat jelas, betapa ia selalu bicara tentang keteguhan, tentang semangat yang tak boleh padam. Mungkin, ayah memang tidak sempat mengucap pesan terakhir dengan kata-kata… karena seluruh hidupnya adalah pesan itu sendiri. Dan kini, setelah ia tiada, aku tahu apa yang harus kulakukan: tetap berdiri. Sekuat pohon anggur yang terus tumbuh meski dihantam badai.

Mei 2013 adalah bulan tergelap dalam hidupku. Tapi dari sana juga aku belajar, bahwa kehilangan bisa menghancurkan kita, atau membentuk kita menjadi lebih kuat. Dan aku memilih untuk menjalani hidup ini seperti yang ayah ajarkan—dengan kepala tegak, meskipun hati kadang masih retak.

"Pohon Anggur Itu Kini Aku"

Ayah pergi tanpa sempat pamit. Tapi mungkin, memang begitu caranya ia berpamitan—dalam diam, dalam rindu yang tak pernah selesai, dalam pesan-pesan kecil yang dulu kuanggap biasa. Dan di hari ketika aku akhirnya jatuh, aku akan bangkit lagi—sebab aku adalah anak dari lelaki yang tak pernah menyerah, bahkan ketika takdir menolak memberinya waktu lebih lama.

Ayah mungkin telah tiada, tapi aku adalah warisan hidupnya. Aku adalah kalimat terakhir yang belum selesai ia tulis.

Komentar

  1. Sabar ya nak,tunjukkan pada Dunia bahwa kehilangan Ayah bukan Akhir dari segalanya.Tetap semangat dan JD anak yg bisa mengangkat Derajad Keluarga,terutama bisa Membahagiakan Rahimahullah di Alamnya.Aamiin 🤲

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

MCU Gratis di Hari Ulang Tahun, Kok Bisa? Ini Pengalamanku!

Ulang tahun biasanya identik dengan kejutan, kado, dan perayaan kecil bersama keluarga atau teman. Tapi siapa sangka, tahun ini saya mendapat hadiah yang belum pernah didapat sebelumnya: Medical Check-Up (MCU) gratis dari pemerintah! Banyak dari kita mungkin jarang melakukan pemeriksaan kesehatan secara rutin. Entah karena kesibukan, merasa masih sehat, atau khawatir dengan biayanya. Padahal, Medical Check-Up (MCU) sangat penting untuk mendeteksi dini kondisi kesehatan sebelum menjadi masalah serius. Nah, menariknya, kali ini pemerintah melalui puskesmas maupun rumah sakit pemerintah dalam rangka kampanye kesehatan nasional memfasilitasi masyarakat untuk MCU gratis, alias nol biaya. Beritanya dapat diakses di sini .**  **Untuk memastikan apakah program ini tersedia di daerahmu,  coba cek ke puskesmas atau fasilitas kesehatan terdekat.  Biasanya, informasi ini juga diumumkan melalui media sosial dinas kesehatan setempat. Berhubung saya berulang tahun di bulan Januari...

Disiplin, Kebersamaan, Cinta (Lokasi) Lingkungan, Hati-hati Terjebak!

Hi, glasses-B ! Untuk pembaca baru, Bela ucapkan selamat datang dan semoga tulisan di blog ini memberi manfaat. Pada kesempatan kali ini, Bela akan bahas tentang semboyan yang selalu diagung-dan-digaungkan di sebuah kampus di Rumbai, Pekanbaru -  Politeknik Caltex Riau  (PCR) "Disipilin, Kebersamaan, Cinta  Lokasi   Lingkungan" Sumber: google.com Teman-teman mahasiswa, alumni, atau bahkan staf PCR pasti udah sering dengar semboyan super ini. Semboyan yang tidak bosan-bosannya disampaikan dalam setiap kesempatan, dan akan teman-teman dengar saat pertama kali menjadi mahasiswa baru (maba) di kampus ini, sampai seterusnya. Semboyan ini bukan untaian kata biasa, melainkan sudah menjadi citra PCR yang akan terus selalu dijaga dan dilestarikan oleh seluruh civitas akademika PCR. Uniknya, banyak mahasiswa atau alumni yang kemudian seiring berjalannya waktu diplesetkan menjadi Disiplin, Kebersamaan, Cinta Lokasi . Plesetan ini bukan tanpa alasan, jika dilihat dari banyaknya ...