Skip to main content

Happy itu "Inner", bukan "Outer"

Hari ini saya ngobrol ngalor-ngidul sama Pak Dadang, salah satu dosen dan pernah menjadi direktur di tempat saya bekerja sambil menunggu makan siang datang. Kali ini, ditraktir Pak Dadang, - hehe.. I can't thank you enough. Obrolan tiba-tiba menyentil soal happy. 

Dan menjadi sesuatu yang saya pilih untuk ditulis hari ini. Sebagai orang dewasa saya sangat sadar bahwa saya seringkali lupa untuk happy. Atau juga terkadang saya sibuk mencari cara agar happy. Tapi.. di sisi lain, beberapa kali saya melihat pasangan pengumpul barang rongsokan mendorong gerobak tua berisi barang bekas dan kedua balita mereka, sedang tertawa lepas. Muncul perasaaan yang sulit untuk dijelaskan. Saya happy melihat mereka tertawa, mereka berjalan tanpa alas kaki, tanpa kendaraan bagus, tidak sedang mengenakan baju baru, dan tidak membawa makanan selain air minum - botol A*ua yang diisi ulang air berwarna oranye. Dan mereka terlihat sangat happy.

Lalu, ketika mendengar berita pengusaha dengan aset trilyunan depresi dan berusaha melakukan percobaan suicide, saya heran. Bukankah mereka punya segalanya? uang dan kekayaan yang mereka punya bahkan melebihi cukup untuk menghidupi orang-orang 1 provinsi. Lantas apalagi yang kurang? 

Saya tersadar dengan celetukan Pak Dadang siang ini. Beliau bilang,
"Happy itu inner, bukan outer."
― DDS

Saya terkesima dengan kalimat itu. Sembari saya kutip celetukan ciamik Pak Dadang untuk saya tulis di dalam notes, saya cari quotes lainnya tentang happy

I felt my lungs inflate with the onrush of scenery—air, mountains, trees, people. I thought, “This is what it is to be happy.”
― Sylvia Plath, The Bell Jar

“The happiness of your life depends upon the quality of your thoughts.”
― Marcus Aurelius, Meditations

Ah.. benar juga kata Pak Dadang. Kebahagiaan itu datang dari dalam diri kita, bukan dari apa yang kita kenakan. Dengan atau tanpa barang branded, kita bisa happy. Perasaan happy itu muncul secara alami, tanpa dibuat-buat. Ada sebuah perasaan lega, bergairah dan ketenangan dalam dada bercampur menjadi satu ketika kita happy

Comments

Popular posts from this blog

I'm Just a Mom 🍓

Hai.... Jumpa lagi! Setelah beberapa bulan lama nya tidak menulis, lumayan bingung rasanya mau menuliskan apa di tengah-tengah kesibukan aktivitas rumah tangga, perkuliahan, riset, dan lain sebagainya.  Setelah beberapa bulan pasca melahirkan, saya kembali merasakan drama, naik-turun, dan serunya jadi Ibu yang punya bayi. Bayi yang lahir ke dunia ini pada tanggal 15 Agustus 2023, atas izin Allah dimudahkan segala prosesnya. Dan tepat 1 Minggu setelahnya, bayi dengan tubuh mungil itu sudah harus saya titipkan ke Ibu saya di rumah, 5-8 jam lamanya (hampir) setiap hari. Sebenarnya, ini bukan kali pertama saya 'meninggalkan' anak. Tahun 2019, saat usia anak pertama saya 7 bulan, saya diterima bekerja di salah satu kampus. Hanya saja, kali ini terasa lebih awal. Jadi, kalau saat ini orang-orang bertanya apakah saya sedih meninggalkan bayi di rumah, saya bingung harus menjawab apa. Apa ekspektasi orang atas jawaban yang akan saya berikan? Dari 2 pengalaman 'meninggalkan' anak

Pengalaman (BUKAN) Warlok ANC Terpadu di Jogja 🏥

Hari ini, 21 Maret 2023 saya baru saja selesai menjalani ANC Terpadu. Salah satu program pemerintah yang diwajibkan untuk pemeriksaan kesehatan fisik dan psikis ibu hamil (more info bisa dibaca disini: https://dinkes.jogjaprov.go.id/berita/detail/anc-terpadu-ibu-hamil-10t-anc-terpadu-berkualitas-hamil-sehat-melahirkan-selamat-bayi-sehat ). Dan luar biasa, selesai hanya dalam beberapa jam saja! Oh ya, informasi yang saya terima dari nakes, untuk di Jogja seluruh ibu hamil yang akan menjalani proses persalinan di fasilitas publik (klinik kebidanan, puskesmas, dan rumah sakit) wajib mendapatkan ANC Terpadu. Singkat cerita, saya datang ke Puskesmas Depok II (Condongcatur, Sleman) yang berjarak sekitar 3km dari rumah, pukul 08.30 WIB. *agar informasi ini lebih mudah diakses bagi pembaca, saya sajikan dalam poin saja, ya.. kurang lebih begini alurnya. Di pintu masuk, saya mengambil nomor antrian dan menunggu panggilan. 15 menit menunggu, saya diarahkan ke bagian Pendaftaran dan Rekam Medis

OMG! Quarter Life Crisis Menyerang!

Galau, overthinking , gelisah, bingung, ketakutan, sampai frustasi kerap mengganggu psikis seseorang di seperempat abad usianya. Kira-kira di usia 18-30 tahun. Umumnya, seseorang di usia ini   merasa tidak mempunyai arah, khawatir, bingung, dan galau akan ketidakpastian kehidupannya di masa yang akan datang. Biasanya, kekhawatiran ini meliputi isu karir, percintaan, ekonomi dan kehidupan sosial. Bahkan, juga ada yang mempertanyakan hingga meragukan tujuan dan alasannya hidup. Duh, gawat juga ya ... Fase ini dinamakan Quarter Life Crisis (QLC) . Di fase ini, setidaknya ada 3 tuntutan untuk seseorang: Kedewasaan Arah hidup Tanggung Jawab Akan muncul banyak pertanyaan pada diri seseorang, "Aku hidup untuk apa?" "Aku mau jadi apa?" "Apa yang aku cari?" "Aku salah ga ya milih keputusan itu?" "Kok hidupku gini-gini aja ya..." "Kapan aku bisa sesukses dia?" Sebenarnya, tidak ada yang salah dari pertanyaan-pertanyaan tersebut, tergant